Gunung Kembang memiliki dua jalur pendakian, yaitu Jalur Lengkong yang berada di Kecamatan Lengkong dan Jalur Blembem yang berada di Dukuh Blembem Kaliurip, Desa Damarkasihan, Kecamatan Kretek, Kabupaten Wonosobo. Pendakian awal di Gunung Kembang via Blembem sudah dilakukan sejak 1990-an, tetapi dibuka untuk umum pada 1 April 2018 oleh pihak pengelola sekaligus yang membuka jalur (Skydoors). Jalur Bemblem lebih banyak diminati karena pengelolaan yang lebih teratur dengan fasilitas yang cukup lengkap. Per Desember 2022, biaya registrasi Basecamp Blembem dikenai Rp55.000 untuk rombongan pendaki <5 orang dengan fasilitas basecamp (toilet, kamar mandi, dapur, mushola), parkir dan wifi serta Rp80.000 untuk pendaki untuk rombongan ≥5 orang dengan fasilitas tambahan berupa pengantaran rombongan pendaki hingga Pos Istana Katak menggunakan kendaraan yang tersedia.
Gunung Kembang juga
lekat dengan keberadaan babi hutan/celeng, sehingga tidak boleh mendirikan
tenda selama masih di area hutan selain karena kemiringan tanah dan kerapatan
jalur. Selepas dari hutan, akan memasuki daerah sabana yang sudah boleh digunakan
untuk mendirikan tenda, trek masih sulit dengan jalur yang masih cukup sempit
walau beberapa kali ditemukan bonus (turunan/jalanan datar). Hingga Tanjakan
Mesra, jalur cukup ekstrem, beberapa jalur dipasang tali-tali pendukung yang
diikat antar pohon. Setelah Tanjakan
Mesra hingga jalan menuju puncak, tidak terlalu memakan waktu (kurang lebih
30-45 menit) dan jalur lebih landai dengan areal yang lebih luas.
Kewaspadaan dan
kehati-hatian menjadi kunci dalam pendakian di Gunung Kembang via Blembem.
Tali-tali pendukung biasanya dipasang di jalur yang cukup ekstrem, selebihnya
pendaki dapat mengandalkan batu atau batang-batang pohon sebagai pijakan
apabila melewati jalur yang curam. Pendakian juga disarankan saat masih terang
karena jarak penglihatan dan kesulitan
jalur. Para pengelola basecamp
biasanya akan 'main' ke gunung untuk mengecek kondisi gunung seperti pohon
tumbang atau sampah-sampah yang 'luput' dari pendaki.
Gunung Kembang memiliki
peraturan yang ketat dalam pendakiannya, terutama urusan sampah dan
pengolahannya. Aturan-aturan ini diterapkan untuk menjaga kelestarian alam di Gunung
Kembang itu sendiri. Sehingga tidak salah banyak yang mengatakan bahwa Gunung
Kembang merupakan salah satu gunung terbersih di Indonesia.
Berbeda dengan kebanyakan gunung lainnya, peraturan di Gunung Kembang terutama masalah sampah terbilang lebih ketat yang ditetapkan oleh pengelolanya. Ini dilihat dari pendataan barang pendaki pada pos keberangkatan sebelum melakukan registrasi. Semua barang harus didata secara detail untuk memastikan tak ada barang yang dilarang. Bahan makanan dalam kemasan plastik seperti mie instan dihitung per bungkus bumbunya. Makanan harus menggunakan wadah pakai-ulang. Dulunya, air harus diletakkan dalam dirigen, seiring berjalannya waktu melihat kepatuhan dari pendaki serta melihat efek yang sudah cukup menjera pendaki, maka perlahan diperbolehkan untuk membawa air menggunakan botol kemasan dengan syarat plastik segel dan plastik merek sudah dicopot terlebih dulu. Pengelola basecamp akan mendata barang bawaan kembali berdasarkan berapa yang sudah terbuka/terpakai untuk diperkirakan sampah apa saja yang dapat dihasilkan termasuk bekas guntingan bumbu mie instan atau coklat. Jika jumlah barang tidak sesuai dengan data pada awal keberangkatan maka pengelola akan berasumsi bahwa pendaki meninggalkan sampah di gunung. Jika demikian pendaki berkewajiban untuk mencari lagi sampah atau barang yang tertinggal di gunung Kembang tersebut dan apabila itu tidak dilakukan maka dikenai sanksi denda sebesar Rp1.025.000 untuk satu jenis sampah yang tertinggal.
Berlakunya peraturan
tersebut tentu berdampak pada kebersihan Gunung Kembang. Ketika AM (Anggota
Muda) Matrapala Angkatan 24 melakukan ekspedisi ke Gunung Kembang, dapat
diketahui bahwa dalam jalur pendakian dan puncak Gunung Kembang jarang
ditemukan sampah yang tercecer. Jika ada sampah yang tertinggal, hanya
ditemukan sampah-sampah kecil yang sekiranya hanya terjatuh atau tanpa sadar
dari pendaki seperti tutup botol, robekan plastik keresek atau tali rafia. Namun,
untuk area basecamp sendiri masih ditemukan sampah, khususnya untuk
tempat-tempat yang tidak terlihat. AM (Anggota Muda) Matrapala Angkatan 24
melakukan operasi semut di sekitar area basecamp dan mendapati sampah
mencapai satu kantong sampah besar. Ini merupakan tamparan keras bagi pengelola
Basecamp Blembem (tempat AM Matrapala melakukan operasi semut), di mana mereka
memaksa dan menekan aturan yang ketat mengenai sampah kepada pendaki justru di basecamp
mereka sendiri masih banyak sampah-sampah yang bercecer. Harusnya merekalah
yang memberikan contoh awal kepada pendaki mengenai pengelolaan sampah sebelum
mereka memaksa dan menekan aturan yang ketat kepada pendaki.
Peraturan kebersihan di Gunung Kembang sudah baik dan cukup mengikat pendaki untuk tidak melanggar. Melalui peraturan tersebut pun, dapat diketahui tujuan mulia dari pengelola basecamp untuk mencintai alam, khususnya di daerah Gunung Kembang, dan merawat serta menjaganya dengan kesadaran akan sampah dan kebersihan. Ini akan mengarah pada pendisiplinan bagi pendaki tidak hanya ketika di Gunung Kembang, tetapi juga ketika mendaki gunung-gunung lain bahkan mungkin dalam kesehariannya. Namun, aturan ini sepertinya tidak berjalan secara menyeluruh, hanya berfokus di Gunung Kembang saja, padahal di daerah sekitar basecamp masih banyak sampah yang berserakan. Kendati bagian kebun dan basecamp berada tidak sepenuhnya diawasi pengelola, setidaknya, seharusnya, peraturan tersebut bisa menyadarkan dan mengajak penduduk sekitar untuk menjaga kebersihan dengan membuang sampah sesuai dengan tempatnya.
Comments