Kala Raung


Bodo amaaaaat! Gue gamau kemari lagi! Biar kata dibayarin juga!
Salah seorang teman menggerutu, begitu bokongnya yang sintal baru saja terduduk di teras tenda yang berbahan terpal. Celoteh dari mulutnya kembali terdengar setelah seharian fisik serta mentalnya digempur tebing-tebing, jalan tipis berpasir, bebatuan sekeras kepala orang-orang angkuh di bumi ini, serta dalamnya jurang yang seekor burung bersayap pun enggan untuk mampir mendarat di dasarnya.

Kalo gue sih mau kemari lagi, nanti, tapi kalo naek helikopter! Langsung ke puncak. Hahaha
Seorang lagi enggan memungkiri keindahan tubuh Gunung Raung. Keindahan yang nampak sengaja disajikan Tuhan bagi mereka yang ingin bersusah payah mencicip barang sedikit mahakarya Tuhan di bumi pertiwi. Meski, ia juga tak naif bahwasanya untuk kembali lagi ke sana, ke Puncak Sejati Raung untuk kali kedua butuh seribu kali persiapan daripada pendakian sebelumnya. Bagaimana tidak? Mungkin begini; Jika seseorang belum tau bagaimana jalan yang akan dilaluinya, atau ada sesuatu apakah di ujung jalan tersebut, seseorang cenderung lebih semangat dan dengan sedikit ambisi akan membunuh rasa penasaran yang merongrong dadanya tersebut. Jika sudah, pastilah akan timbul kemungkinan-kemungkinan yang membuat seseorang tersebut malas, sungkan, bahkan enggan kembali lagi ke sana—bisa karena hasil atau proses menujunya tersebut.

Lima orang mahasiswa yang jauh di dalam otak dan hatinya sana tersimpan dengan rapih niat apa yang sebenarnya mereka persembahkan ketika diutus berangkat menjalankan misi Matrapala untuk mengibarkan benderanya di tiang yang tertancap dalam di tanah tertinggi ujung timur pulau jawa sana—namun yang satu sama lain kita tahu dengan pasti; dari mulut masing-masing kami merapalkan sebuah ikrar kesanggupan untuk mengemban tugas tersebut.
“Ya, gw siap berangkat.”
“Aku yooo mangkat!”
“Gw juga siap!”
“Masa gw ga siap? Siap lah, berangkat.”
“Laaah ayooo, udah lama ga ayo.”

Kira-kira begitulah mantra-mantra yang kami rapalkan ketika hasil musyawarah jauh sebelum hari keberangkatan menyembulkan nama-nama kami ke atas permukaan.

Setelah malam itu di depan jidat kami sudah terbayang-bayang akan jalan yang panjang, napas yang bakal tersengal-sengal, beban yang akan sangat berat dipikul pundak, serta gemetar langkah kaki meniti jalan-jalan tipis menyaru dengan gigir jurang yang jika dibayangkan dalamnya akan terasa nyeri dada-dada kami. Berbagai macam persiapan tak luput mengisi sisa-sisa hari menjelang hari keberangkatan menuju tanah paling timur Pulau Jawa. Segala macam tetek bengek dari apa-apa yang paling mendasar untuk menunjang perjalanan kami penuhi sebagai salah satu bentuk ihtiar yang menjadi representasi kesungguhan tekad kami mengusung tugas yang hinggap di pundak kami, hingga hal yang paling remeh temeh semacam; beberapa potong sempak yang harus kami bawa pun tak terlewat dari keriuhan malam itu, malam sehari sebelum hari keberangkatan.

Sementara para wanita-wanita yang jumlahnya sedikit lebih banyak dari kami, kaum lelaki, sibuk dengan plastik-plastik kreseknya yang berupa-rupa macam dan warnanya. Plastik biru tua besar untuk logistik yang sengaja dibagi perhari selama pendakian, di dalamnya lagi ada plastik yang ukurannya lebih kecil dengan warna hijau terang, merah, serta putih untuk membungkus masing-masing santapan kami di pagi, siang, serta malam harinya. Begitu detil serta terklasifikasi dengan sangat baik yang sudah dengan serta merta memudahkan kami—kaum lelaki yang katanya cenderung lebih cuek—nantinya ketika harus menyiapkan hidangan makan.
Rupa-rupa panganan ringan siap saji, minuman rasa-rasa dengan pewarna dan pengawet buatan yang kiranya tak menyehatkan tetapi menyegarkan kala dahaga setelah seharian bermandikan peluh dan debu pegunungan, buah-buahan, serta beras dan sayuran rapih mengisi sela-sela kosong dalam ransel kami. Tak lupa kopi hitam turut serta gula pasir cantik terkemas dalam plastik-plastik kecil berperekat merah.

Bus Eka-cepat melaju tergesa meninggalkan terminal sukun yang denyut nadinya sudah mulai redup. Malam hampir tiba pada puncaknya ketika deru bus dan dengkur penumpang di kabinnya riuh rendah membelah sunyi malam di sepanjang jalan raya Semarang-Solo, hingga putaran roda akhirnya berhenti di Kota Solo satu setengah jam kemudian. Setelah itu, tak kalah tergesanya langkah kami menggapai pelataran stasiun kereta, berharap masih ada bangku panjang untuk sekedar merebahkan tubuh serta sedikit memejamkan mata yang mulai nyalang dihantam badai kantuk yang teramat sangat.
Matahari yang belum genap naik sepenggalan dengan angkuh membuyarkan mimpi yang belum berhasil menggapai klimaks, beberapa jam tertidur di emperan Stasiun Purwosari belum berhasil menyita kantuk yang hinggap di masing-masing kelopak mata kami. Dengan iris mata yang masih merah serta sedikit sayu macam orang habis pulang mabuk, kami gontai berjalan dalam gerbong kereta, segera mencapai nomor kursi yang tertera pada lembar tiket untuk kemudian meneruskan tidur lelap dalam rangka menunaikan hajat yang semalam tak sempat didirikan dengan seksama. Boleh juga diniati untuk membunuh waktu yang akan terasa begitu lama hingga nanti tiba kami di Banyuwangi beberapa belas jam yang akan datang.

Perjalanan belasan jam di dalam gerbong kereta sudah tentu sangat menjemukan. Orang-orang asing yang sibuk mengasingkan dirinya masing-masing, para pegawai kereta yang sok kaku, atau ketika kau lupa membawa sebuah buku dalam perjalananmu. Terlebih kereta yang membawa kami berstatus kelas ekonomi, yang ketika kau duduk dengkul kakimu pasti akan berciuman dengan dengkul kaki orang yang tepat berada di hadapanmu. Belum lagi dengan kursi yang tegak lurus seolah membentuk sudut siku. Ketika nanti kau tiba pada stasiun tujuan, pasti jika punggungmu bisa berbicara ia sontak teriak kegirangan, mereka—ruas-ruas tulang belakangmu dengan sendirinya merenggang lagi setelah berjam-jam erat berhimpitan satu sama lain. Belum lagi kakimu, dengkulmu, yang sudah mulai rapuh dilumat usia, sedikit selonjor mungkin hadiah yang pantas untuk kedua kakimu.

Tiba di Kalibaru, malam ketika rerintik gerimis masih khusuk membasahi tanah Banyuwangi. Lima motor yang sengaja sedikit di modifikasi untuk dapat melumat jalanan berbatu menuju kaki Gunung Raung beriringan membelah perkebunan nusantara milik pemerintah. Pohon-pohon kakao kemudian pohon-pohon kopi bergantian menyerap karbon yang keluar dari knalpot rombeng ojek di sepanjang jalan yang dilaluinya. Digantikan dengan aroma kopi atau aroma kakao, itu belum termasuk bau tanah gembur yang secara sistematis mencuat semenjak basah terguyur hujan.
Tanah Kalibaru dengan semua kesuburan di atasnya tidak serta merta dapat dikatakan kemakmuran bagi warganya. Warga hanya buruh. Tenaganya dipersembahkan untuk perkebunan nusantara, untuk negara. Ketika panen tiba, upahnya tidak sebegitu manis coklat-coklat itu. Tidak seharum kopi-kopi itu.

Pendakian dapat dikatakan pendakian ketika jalan setapak hanya dapat dilalui oleh langkah kakimu, ketika selangkah demi selangkah terakumulasi menjadi ribuan langkah yang mengencangkan otot-otot kakimu. Pendakian yang berat bukan berarti dapat diukur ketika beban ranselmu melebihi setengah dari berat badanmu, bukan juga dari panjang dan terjalnya medan yang akan kami lalui, apalagi dari banyaknya cucuran bulir-bulir keringat kami. Itu semua hanya serupa harga yang wajib dibayar untuk ditukar dengan kepuasan hati. Itu semua hanya prosesi. Pendakian dapat dikatakan begitu berat saat tekadmu yang dahulu bulat seketia menciut. Saat fisikmu yang begitu tangguh seketika melemah. Saat asamu yang semula terang benderang perlahan meredup. Saat menyadari puncak hanya tinggal angan-angan kosong yang segera pupus dilumat kabut-kabut.

Perjalanan kami awalnya begitu ringan, meski beban ransel di pundak dan terjal jalan mukadimah sudah dengan angkuh menantang kami. Mungkin, seraya berkacak pinggang ia berkata; “Mahluk kecil, punya apa kamu berani-beraninya mau menggapai puncak itu?”
Namun seperti yang sudah digambarkan tadi, perjalanan ini masih terasa ringan beriringan dengan dera tawa di sela-sela peluh yang jatuh, atau dengan masih terdengar merdunya kicau burung yang sebenarnya terdengar begitu parau. Sinyal kebahagiaan serta kenikmatan perjalanan setidaknya masih disemai satu sama lain diantara kami.
Saat matahari sudah lebih condong ke ufuk barat, ketika jingga di langit sudah menyala-nyala, kicau burung hilang ditelan suara-suara serangga malam, dua buah tenda serta beberapa aneka makanan sudah tersaji dengan begitu sederhana, perjalanan hari ini usai begitu mata kami terpejam. Tubuh ringkih yang lelah bermandi peluh, rehatlah barang sejenak.

Seekor primata resah di dahan yang tak jauh dari rumah sementara kami yang begitu sederhana. Entah kebelet buang air, atau mungkin bingung kehilangan rombongannya. Yang kami tahu pasti, suara-suara yang dihadirkannya cukup sukses memecah keheningan pagi itu.
“ah emang dasar monyet! Kalo orang pasti udeh dikata-katain monyet lu. Pagi-pagi udah gegawakan bae.” Seru seorang teman yang pagi itu asik membuang hajat sambil menikmati sebatang rokok kreteknya. Dari mulutnya tak habis-habis mengeluarkan asap. Asap hasil pembakaran tembakau setelah itu asap yang dihadirkan embun pagi itu.
“ngising-ngisingo wae, thek. Bengak-bengokmu kae lho, persis!” timpal seorang lagi yang nampaknya begitu sensitif dengan teriakan di pagi hari. Sebagian lagi menyibukkan dirinya dengan membereskan segalanya untuk perjalanan selanjutnya—sementara yang lain memasak guna memenuhi kebutuhan akan tenaga yang dibutuhkan tubuh untuk melahap jalur di depan yang tak kalah brengseknya.

Langkah demi langkah gontai dengan pasti membawa tubuh yang terhuyung-huyung ke tempat yang lebih tinggi lagi. Sudah begitu jauh dan tinggi tempat kami berdiri dari gubuk reyot naungan Pak Sunarya dan istrinya menghabiskan hidup rentanya dengan sahaja. Rumah terakahir dan satu-satunya, gerbang dari hutan Raung dengan misteri yang rapih tersimpan pada tiap-tiap batang pepohonnya, di tengah perkebunan kopi yang tak hingga luasnya, bersama beberapa ekor anjing yang lucu-lucu, kedua suami beristri tersebut jelas sudah selesai akan semua germerlap dan hingar bingar kehidupan. Pada tubuh rentanya, kedua manusia tersebut dengan tulus menyuguhkan senyum cemerlang kepada setiap mereka yang datang dan sejenak singgah di gubuk reyotnya, apalagi ditambah secangkir kopi pahit buah kebun yang mereka jaga, ah hidup seakan pendar-pendar jingga di senja kala.

Hari sudah lewat dari setengah, waktu ashar tidak lama lagi akan tiba, sepuluh pasang kaki tetah tiba pada satu tuju. Lebih dari dua ribu meter di atas permukaan laut mata-mata kami dengan leluasa mengedarkan penglihatan. Sebidang tanah terbuka, tanpa naungan rindang hutan hujan, tanpa reranting yang dapat kapan saja mencolok mata, hanya rerumputan yang riuh disapu angin gunung. Tepat di tengah punggungan sebuah bukit, kanan dan kiri jurang dengan bisu menyembunyikan gelap dasar-dasarnya. Terpaan angin atau bahkan badai dengan sangat leluasa menyapu kami kapan saja, belum lagi gigil malam yang siap melinukan tulang belulang sepuas mereka bisa.
Malam itu, sepanci kecil mie rebus instan dengan telur dan bakso serta beberapa iris cabai rawit sungguh nikmat tiada tara. Gemertak gigi-gigi yang timbul sebab dingin yang dibawa semilir angin malam, canda dan gelak tawa yang tidak dipaksakan, beberapa batang rokok kretek, dua gelas minuman penghangat yang sudah tidak hangat semenjak dipindahkan ke dalam gelas, ditambah cuaca malam itu yang amat bersahabat—terpampang jelas gemintang di angkasa dan di bawah sana, ya, gemintang yang diciptakan lampu-lampu kota. Lima manusia kerdil, larut dalam sunyi dan kelamnya kehidupan dunia.

Menyerang puncak atau dengan istilah yang lebih lazim biasa disebut summit attack kami dirikan dengan semangat setebat jaket-jaket kami. Alat penerangan akan sangat nista bila tak dipergunakan, sementara sepasang sarung tangan, penutup kepala, dan masker bisa dikatakan sebagai pelengkap tambahan penghangat tubuh kami. Udara malam yang begitu tipis jelas menyiutkan massa kedua belah paru-paru. Sementara jantung dua kali lebih cepat berdegup menyeimbangkan sistem pernapasan kami. Langkah-langkah lambat, napas tersengal-sengal, belum lagi dengan tubuh yang terus menggigil berusaha membiasakan diri dengan suhu sekitar. Semak dan dahan yang sesekali gaduh oleh aktifitas binatang malam, sedikit menggoyahkan nyali kami. Rapal doa jelas tentu melantun dari mulut-mulut yang tak dapat mengatup.
“Rekoso digawe dewe.. Yahmene ngene ki penak nang omah, kelon!”
“Anget…”
“Penake nganti ubun-ubun.”
“Apa lagi kalo udeh sampe puncak, bleh.. beeeeh rasanyaa..”
“Tapi yooo kesele podo ae sih.”
Ocehan-ocehan tak bertanggung jawab tersebut dapat diartikan dengan pasti buah dari rasa frustasi yang kami dera. Langit masih begitu gelap, hanya sebuah mata bulan yang tidak melek sepenuhnya. Puncak jelas belum terlihat, sementara kami sudah entah tinggal apa yang tersisa.

Seutas tali karmanthel sepanjang lima puluh meter sudah mantap terpancang di ujung sisi yang lain dari sebuah tebing tinggi. Bergantian kami berjalan meniti jalan tipis yang langsung menjorok jurang yang amat dalam di sisi kanannya. Berjalan melipiri sebuah tebing, jelas tentu menggetarkan kaki-kami kami, jangankan kau lihat ke bawah, menyadari posisimu yang begitu dekat dengan maut saja mungkin sudah enggan. Yang amat pasti tinggal bagaimana caranya cepat menyudahi perjalanan ini.
Tibalah kelima manusia kerdil ini pada suatu tempat yang dinamakan “siratal mustakim”, dengar namanya saja fantasi sudah jauh melayang-layang ke antara surga dan neraka. Jalan yang lebarnya saja tidak ada satu depa, jurang sebelah kanan—apabila kau jatuh, meninggal adalah imbalan paling setimpal, sedang jurang di sisi kirimu—apabila kau jatuh, meninggal setelah sampai di dasar jurangnya saja sudah merupakan keberuntungan, maka jangan berharap jasadmu bisa diketemukan. Pagi itu, kedua jurang tersebut ditudungi kabut-kabut tipis, kesan kelam dan kengerian tumpah di mana-mana. Postifnya kami tak perlu menyiapkan sebuah umpatan untuk mengutuk kedalamannya, sedang negatifnya adalah semakin samarnya jalan mana yang harus kami pijaki.
Naik turun tebing dengan tali entah berapa kali, jalan menanjak dengan sudut hingga tujuh puluh derajat kami jumpai, pasir dan bebatuan vulkanik yang labil sempat beberapa kali menyapa kami, menjatuhkan batu dan kejatuhan batu hasil langkah teman di depanmu, ah barang murah sekali di sana. Satu teriakan dari mulut kami, berarti undangan bagi para kabut, entah mitos seperti apa itu, yang pasti itu semua dibuktikan mata kepala kami masing-masing.

Sir Edmund Hillary pernah berbicara; sampai di rumah dengan selamat adalah sukses yang sebenarnya, sementara puncak hanyalah sebuah bonus. Ya tepat ketika matahari berada di atas kepala, kaki-kaki kami mantap menjejak titik yang dinamakan Raung Sejati. Tiga ribu tiga ratus empat puluh empat meter di atas permukaan laut tinggi kami siang itu. Sebuah bonus dari sekelumit kisah getir perjalanan panjang. Lingkar kaldera gunung terbesar se Tanah Pertiwi itu membisu dan angkuh di hadapan kami, sedang selat bali tenang di timur sana. Setinggi itu kami merasa rendah. Sekerdil-kerdilnya mahluk! Serupa dengan kerikil-kerikil yang tergeletak di sepanjang jalan tadi. Tuhan, seserius itukah ketika Kau merapal; Kun Fayaa Kun—dan mencipta semesta raya ini?

Mengunyah beberapa buah pir yang sudah nampak pucat kami jadikan ritual perayaan pendapatan bonus tersebut. Mengabadikan diri dengan sebuah foto tentu jadi ritus wajib ketika tiba di puncak. Saling mengucapkan selamat disertai peluk kecil satu sama lain adalah bentuk apresiasi kita terhadap teman seperjuangan. Salam-salam titipan dari beberapa teman di kota tak lupa kami sempatkan; di layar ponsel, di secarik kertas, bahkan di telapak-telapak tangan pun jadi medianya. Puas dengan kemenangan sementara kami bergegas kembali, tak ingin terlena dengan kemenangan semu tersebut membuat kami tidak bertahan lama-lama di Puncak Sejati—Toh mentari siang itu begitu garang menjilat kulit-kulit kami.

Perjuangan menggapai kemenangan gilang gemilang segera dilaksanakan. Pulang ke rumah, menjumpai kerabat yang cemas menanti kabar bahagia. Belum lagi kalimat-kalimat rindu terus menerus dilontarkan seorang terkasih, ajakan-ajakan kencan, atau makan malam di warung penyet kesayangan lamat-lamat mengisi kedua indera pendengaran.
Di kaki gunung, di ambang pintu rimba, sambutan senyum cemerlang dari wajah tua Pak Sunarya beserta istri tercinta sudah siap mengembang. Secangkir kopi dan ubi hangat sudah tersaji di meja kayu kusam tak berplitur. Tiga ekor anjing memposisikan dirinya di depan dan belakang kami sejak tiba di pintu rimba, menggonggong begitu riang seakan menyambut pasukan perang pulang dari medan laga.

Semarang, 
3 Maret 2017

Kontributor: M-162-Ol, Tulisan juga dapat dilihat di langgamsenja.wordpress.com

Comments