Carut Marut Diksar: Ajang Pendidikan atau Perploncoan?




Para Peserta Bersiap Melaksanakan Kegiatan

Mahasiswa pencinta alam merupakan sebuah perhimpunan atau organisasi mahasiswa yang setiap kegiatannya berada di seputar bidang kepencinta-alaman. Jelajah gunung-hutan, susur gua menilik rahim ibu bumi, mengarungi riak hingga jeram sungai-sungai, hingga upaya-upaya pelestarian dan penghargaan terhadap lingkungan serta masyarakat yang hidup di dalamnya.

Kegiatan-kegiatan tersebut teramat lekat dan erat sekali kaitannya dengan kondisi fisik serta mental para penggiatnya. Selain itu, pemahaman ilmu-ilmu mengenai kegiatan tersebut menjadi satu lagi faktor penting yang harus dimiliki para penggiat alam bebas sebelum mereka terjun di lapangan.

Kompetensi-kompetensi itu telah diamini oleh hampir seluruh penggiat alam bebas pada umumnya dan mahasiswa pencinta alam khususnya, karena kompetensi tersebut adalah modal pokok untuk meminimalisir risiko-risiko yang akan timbul pada pelaksanaan kegiatan di alam bebas. Kita semua tidak dapat memungkiri bahwasanya berkegiatan di alam bebas merupakan kegiatan berbahaya dan sarat akan risiko; kecelakaan hingga kematian di lapangan merupakan salah satu risiko yang harus diterima si penggiat alam bebas. Pendidikan dasar tersebut pada akhirnya diterapkan organisasi mahasiswa pencinta alam untuk mempersiapkan calon aggotanya sebelum benar-benar siap untuk terjun ke lapangan.

Pendidikan dan pelatihan dasar.

Aksi Long March dalam serangkaian kegiatan diksar Matrapala
Dalam rangka melakukan regenerasi, pendidikan dan pelatihan dasar (diksar atau diklatsar) merupakan satu metode yang diterapkan hampir semua organisasi mahasiswa pencinta alam. Diksar pun digadang-gadang merupakan tiket masuk untuk dapat bergabung dalam keanggotaan mahasiswa pencinta alam.

Organisasi mahasiswa pencinta alam yang hampir keseluruh kegiatannya dilaksanakan di lapangan tentu saja harus mempersiapkan calon anggotanya untuk dapat memenuhi kompetensi-kompetensi dasar yang dapat menunjang kegiatan-kegiatannya. Tujuannya agar para calon anggota nantinya dapat memiliki fisik dan mental yang bagus, serta mumpuni dalam pemahaman ilmu-ilmu dasar yang dapat diterapkan untuk mengembangkan organisasinya.

Diksar pada pelaksanakannya biasanya diisi dengan pengenalan-pengenalan para calon anggota terhadap organisasi terkait dan alam bebas yang nantinya akan menjadi “tempat bermain mereka”. Sementara itu pemaparan serta praktik ilmu-ilmu seputar kegiatan alam bebas menjadi inti dari pelaksanaan diksar tersebut.

Suatu organisasi dapat dikatakan baik jika memiliki manajemen yang baik, dan pengamalan manajemen yang baik bagi organisasi mahasiswa pencinta alam ialah mendidik, melatih, mengasah, serta mempersiapkan para calon anggotanya menjadi individu yang memiliki fisik, mental, serta pemahaman ilmu yang mumpuni. Agar nantinya mereka bukan hanya cakap berkegiatan dan bertahan hidup di alam bebas, namun juga dapat mempertanggungjawabkan gelar keanggotaan mapala yang mereka sandang sebaik-baiknya.

Perploncoaan berdalih pendidikan

Peserta menerima punishment atas keselahan yang dibuatnya

Pada praktiknya, diksar mapala sering kali disusupi praktik-praktik kekerasan. Pukulan, tendangan, maupun tindakan-tindakan kekerasan fisik-lain tidak dapat dipungkiri masih sering terjadi dalam kegiatan diksar mahasiswa pencinta alam. Pendidikan dasar mahasiswa pencinta alam akhirnya menjadi suatu momok yang begitu mengerikan dalam benak masyarakat.

Beberapa diantara penyebabnya adalah ajang balas dendam antara senior terhadap juniornya. Senior merasa mereka berhak dan harus melakukan kekerasan karena sebelumnya mereka mendapatkan perlakuan serupa. Hal itu terjadi terus-menerus dan menyiklus, hingga akhirnya diksar menyandang stigma negatif di mata masyarakat.

Dalih lain yang melicinkan tindak kekerasan pada kegiatan diksar adalah pembentukan fisik dan mental para calon anggota. Calon anggota digojlok mental dan fisiknya bak di kawah candradimuka. Perlakuan semena-mena para senior dinilai dapat melatih dan membentuk fisik serta mental adik-adiknya.

Perploncoaan tersebut pada akhirnya mengalir sepanjang masa pendidikan yang malah mengaburkan nilai-nilai luhur dari pendidikan dasar tersebut. Bukannya fisik dan mental sehat yang calon anggota dapat, melainkan cacat fisik hingga nyawa melayang yang mereka derita.

Butuh SOP yang jelas.

Mahasiswa sebagai kaum intelektual sudah seharusnya bijak sejak dalam pikiran hingga pada tindakannya. Mahasiswa pencinta alam yang merupakan bagian dari kaum intelek tersebut pun seharusnya lebih dahulu memikirkan secara matang-matang hal-hal yang berkaitan dengan persiapan serta pelaksanaan pendidikan dasar—sebelum nantinya kegiatan tersebut benar-benar dilaksanakan.

Matangnya konsep pendidikan dan koordinasi yang jelas baik antar panita dengan panitia maupun antara panitia dengan anggota non-panitia merupakan satu diantara beberapa kunci kesuksesan pada penyelenggaraan pendidikan dasar. Kedua hal tersebut mempunyai peran penting, sebab unsur manusia juga harus matang disamping penyusunan konsep kegiatan.

Standar operasional prosedur juga harus disusun dengan apik sebelum dilaksanakannya pendidikan dasar. Standar operasional ini berperan dan harus dijadikan sebagi pedoman pokok kegiatan. Hal-hal apa saja yang boleh dan tidaknya dilakukan baik oleh panitia maupun peserta harus ditulis dengan jelas, agar nantinya panitia tidak ada sedikit pun kesempatan untuk berlaku semena-mena. Juga agar peserta mengerti dengan betul apa yang sedang mereka lakukan. Jika berbuat benar mereka berhak mendapat reward begitupun ketika mereka melakukan kesalahan; dibayar dengan punishment. Perlakuan adil mereka dapatkan, dan yang terpenting adalah panitia dapat memanusiakan manusia, dan peserta diperlakukan selayaknya manusia.

Lalu Bagaimana Dengan Matrapala?

Kerabat Mahasiswa Sastra Pencinta Alam lintas angkatan

Mahasiswa sastra pencinta alam Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (selanjutnya ditulis matrapala) sebagai bagian dari organisasi pencinta alam senantiasa terus berusaha untuk tetap tumbuh dan berkembang sesuai dengan visi dan misinya. Dalam usaha regenesarinya matrapala terus berbenah agar sumber daya manusia yang dihasilkan berkualitas; fisik yang prima, mental yang sehat, serta mumpuni dalam segi keilmuan alam bebas.

Dalam perjalanannya, pendidikan dasar matrapala bukannya tanpa kekurangan. Konsep yang belum masak betul serta kendala-kendala lain sering kali timbul di sana-sini. Lubang-lubang tersebut kadang teramat menghambat laju roda organisasi, guncangan yang disebabkan lubang-lubang tersebut kadang sedikit membuat para penumpang di atasnya pusing tidak ketolongan. Kami sadar betul, bahwasanya kesempurnaan adalah ketidaksempurnaan itu sendiri—ketidaksempurnaan yang terus dievaluasi dan diperbaiki demi kematangan suatu organisasi.

Kondisi dan situasi akhir-akhir ini yang kian begitu mendeskriditkan mahasiswa pencinta alam dengan metode pendidikan dasarnya yang disusupi dengan praktek-praktek perploncoan yang akhirnya berhasil merenggut satu jiwa, membuat matrapala siaga satu. Biar bagaimanapun, risiko-risiko serupa dan kemungkinan terulangnya kejadian tersebut dapat dialami oleh semua mahasiswa pencinta alam, tidak terkecuali matrapala.
Kejadian di Karanganyar sana terjadi beberapa bulan sebelum matrapala melaksanakan kegiatan serupa. Bersyukur? Tentu saja. Dengan adanya kejadian tersebut menjadi bahan introspeksi bagi kami. Pembenahan di sana-sini, pematangan konsep, serta koordinasi dengan sebaik-baiknya antar panitia terus dioptimalkan. Hikmah dari kejadian tersebut ialah membuat kami mawas diri. Biar bagaimanapun, mendidik adalah suatu pekerjaan yang mulia. Tapi bagaimana caranya agar suatu hal yang mulia harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya agar tujuan awal demi membentuk generasi penerus yang cakap dapat tercapai—dan bukan sebaliknya; berlaku semena-mena.

Pada pendidikan kali ini, matrapala berhasil mencetak 6 anggota muda matrapala dengan komposisi 3 lelaki dan 3 perempuan. Pendidikan berlangsung 4 hari di sekitaran Gunung Ungaran. Pemaparan dan praktek-praktek keilmuan alam bebas macam: Teknik Hidup Alam Bebas (THAB), Mountainnering, Navigasi Darat, Pertolongan Pertama di Alam Bebas, serta Rock Climbing dilaksanakan dengan seksama diselingi dengan genjotan fisik serta tempaan mental. Ditutup dengan aksi long march semakin menasbihkan bahwa perjuangan untuk sampai pada suatu tujuan tidak semudah angan-angan fana. Perjuangan yang berat dapat membentuk karakter mental yang kuat, nilai yang diharapkan dapat tertanam di jiwa para calon anggota ialah; Tabah Sampai Akhir.

Satu mahasiswi dari bidang kesehatan turut diboyong pada agenda pendidikan dasar tahun ini, tindakan ini kami lakukan sebagai bentuk preventif guna memonitor secara berkala kondisi kesehatan peserta. Sebab yang paling terpenting guna kelancaran kegiatan ini tiada lain adalah kesehatan peserta didik.

Pemeriksaan kegiatan berkala dari seorang mahasiswi bidang kesehatan
Pendidikan dasar pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan yang amat berguna bagi pembentukan karakter calon anggota mahasiswa pencinta alam. Persiapan sumber daya manusia yang ada harus dilakukan guna keberlangsungan suatu organisasi pencinta alam ke arah yang lebih baik lagi. Hal-hal yang tidak berkenaan dengan hakikat tersebut mulai dari saat ini haruslah dikikis secara perlahan. Peristiwa-peristiwa kelam yang lalu mari kita kubur dan hindari sedari awal. Apalagi kita sebagai seorang mahasiswa, seorang agent of change. Jangan sekali-kalinya setiap yang bernama mahasiswa sudi mewarisi tindakan-tindakan REPRESIF. Semoga!

JAYA SELALU MAHASISWA PENCINTA ALAM INDONESIA!

Semarang,
29 Maret 2017

Kontributor: M-162-Ol, Tulisan juga dapat dilihat di langgamsenjaa.wordpress.com

Comments